Kumpulan Artikel MSDM

BAB I

                                                   

PERAN STRATEGIS MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaan misinya dikelola dan diurus oleh manusia. Jadi, manusia merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan institusi/organisasi. Selanjutnya, MSDM berarti mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi perusahaan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara optimum. Karenanya, MSDM juga menjadi bagian dari Ilmu Manajemen (Management Science) yang mengacu kepada fungsi manajemen dalam pelaksanaan proses-proses perencanaan, pengorganisasian, staffing, memimpin dan mengendalikan.
Foulkes (1975) memprediksi bahwa peran SDM dari waktu ke waktu akan semakin strategis dengan ucapan berikut:

For many years it has been said that capital is the bottleneck for a developing industry. I don’t think this any longer holds true. I think it’s the work force and the company’s inability to recruit and maintain a good work force that does constitute the bottleneck for production. … I think this will hold true even more in the future.”

Tidak heran jika sekarang untuk SDM yang handal digunakan terminologi human capital yang semakin santer kita dengar.
Lawas mata kuliah MSDM
Lawas mata kuliah MSDM sesuai dengan fungsi MSDM yaitu hal ihwal staffing dan personalia dalam organisasi, yang mencakup analisis tugas/jabatan, rekrutmen dan seleksi calon tenaga kerja, orientasi, pelatihan, pemberian imbalan, penilaian dan pengembangan SDM. Karena sebagian atau seluruh tugas tentang penempatan personalia yang tepat untuk tugas yang tepat, orientasi, pelatihan, pemberian imbalan, promosi, pendisiplinan serta penilaian kerja untuk perbaikan kinerja merupakan tugas setiap manajer maka scope MSDM mencakup seluruh tugas tentang SDM yang diemban oleh setiap manajer. Dan aspek manajemen serta SDM demikian strategis dan demikian luasnya, maka MSDM melibatkan banyak aspek, terutama dengan faktor-faktor lingkungan internal organisasi (kekuatan dan kelemahan) serta lingkungan eksternal (peluang dan ancaman).
Tantangan manajer masa kini adalah merespons perubahan-perubahan eksternal agar faktor-faktor lingkungan internal perusahaan menjadi kuat dan kompetitif.

MSDM Strategis

Dessler (2000) mendefinisikan Manajemen SDM strategis sebagai berikut:

Strategic Human Resource Management is the linking of Human Resource Management with strategic role and objectives in order to improve business performance and develop organizational cultures and foster innovation and flexibility”. 
Jelaslah bahwa para manajer harus mengaitkan pelaksanaan MSDM dengan strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas.

Peran strategis SDM dalam organisasi bisnis dapat dielaborasi dari segi teori sumber daya, di mana fungsi perusahaan adalah mengerahkan seluruh sumber daya atau kemampuan internal untuk menghadapi kepentingan pasar sebagai faktor eksternal utama. Sumber daya sebagaimana disebutkan di atas, adalah SDM strategis yang memberikan nilai tambah (added value) sebagai tolok ukur keberhasilan bisnis. Kemampuan SDM ini merupakan competitive advantage dari perusahaan. Dengan demikian, dari segi sumber daya, strategi bisnis adalah mendapatkan added value yang maksimum yang dapat mengoptimumkan competitive advantage. Adanya SDM ekspertis: manajer strategis (strategic managers) dan SDM yang handal yang menyumbang dalam menghasilkan added value tersebut merupakan value added perusahaan.
Value added adalah SDM strategis yang menjadi bagian dari human capital perusahaan.

Kecenderungan global: Perubahan, pergeseran

Manajer masa kini dituntut untuk cepat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang berlangsung cepat. Tingginya dinamika atau cepatnya perubahan dapat tergambar dari total perdagangan (impor dan ekspor) Amerika Serikat pada tahun 1991 bernilai US$ 907 milyar, pada tahun 1996 meningkat menjadi US$ 1.4 trilyun. Perubahan ini disebabkan antara lain oleh:
· berbagai kemajuan teknologi yang berlangsung sangat cepat pada 10-20 tahun terakhir, terutama dalam telekomunikasi, penggabungan komputer dengan komunikasi, CAD, CAM dan robotika.
· pengaruh globalisasi: perusahaan manufaktur Amerika Serikat memanfaatkan buruh murah di negara-negara berkembang, persaingan yang semakin mendunia, produksi manufaktur multinasional (Toyota di AS, IBM di Jepang dsb.).
· pengaruh deregulasi atau berkurangnya pengaturan harga, entry tariff dsb. oleh pemerintah, proteksi dan monopoli yang semakin berkurang menyebabkan munculnya berbagai perusahaan baru dalam bidang telekomunikasi, penerbangan, bank yang beroperasi dengan biaya yang relatif lebih rendah (sangat kompetitif).
· demografi tenaga kerja global yang berubah, mengarah kepada workforce diversity, diskriminasi tenaga kerja yang semakin longgar, bertambahnya tenaga usia tua dan tenaga kerja wanita
· perubahan sistem sosio-politik seperti Rusia yang menjadi kapitalis, RRT yang menjadi negara industri, berdirinya asosiasi-asosiasi regional (EU, NAFTA, APEC dll.) yang bertujuan antara lain untuk kerjasama ekonomi, liberalisasi dan deregulasi perdagangan; reformasi di Indonesia yang meruntuhkan orde baru mestinya membawa paradigma baru di dunia usaha.

Pergeseran-pergeseran yang telah disebutkan di atas berdampak kepada semakin banyaknya pilihan bagi konsumen; terjadinya mergers, joint-venture dan bahkan divestasi dan menutup usaha; siklus hidup produk menjadi lebih pendek dan terjadi fragmentasi pasar. Fenomena-fenomena tersebut menimbulkan ketidak pastian sebagai tantangan terhadap tugas manajer. Menjawab tantangan ini, agar dapat bersaing dan sustainable sesuai tuntutan perubahan, organisasi bisnis harus responsif, cepat bereaksi dan cost-effective.
Organisasi yang lebih datar (flat organization) kini menjadi norma baru. Organisasi piramidal dengan 7 – 10 lapis kini mulai di”datar”kan menjadi hanya 3 – 4 lapis (AT&T dan GE dari 12 kini menjadi hanya 6 lapis atau kurang). Bentuk piramidal kini bahkan dianggap kuno, tradisional, out of style, “rantai komando” semakin tidak diikuti, tetapi tentunya dengan operating procedures yang jelas. Ini juga menjadi pertimbangan bagi organisasi perguruan tinggi. Jika kita benar mengacu kepada cost effectiveness dan fungsi-fungsi line and staff management yang efisien, apakah memang diperlukan adanya para pembantu dekan jika sudah ada pembantu rektor, atau sebaliknya? Bukankah staff dan line functions kedua management lines tersebut sama? Apakah tidak terdapat redundancy yang berakibat pemborosan? Yang jelas kita mengikuti pola ini karena kepatuhan kepada peraturan pemerintah yang memang memerlukan debirokrasi. Kita tidak akan membahas masalah-masalah perlunya debirokrasi dan pemborosan yang berlebihan di negara kita sekarang ini karena untuk melakukannya mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun, yang tentunya juga kurang manfaatnya jika para penentu policy enggan mendengarkan apalagi mau mengubahnya.

Perampingan personalia (downsizing),), dan kecenderungan bekerja dalam team yang lebih mendasarkan kerjanya kepada process, bukan fungsi spesialisasi, semakin menonjol. Istilah pemberdayaan yang kini digunakan dalam banyak aspek, juga merambah ke manajemen SDM. Pemberdayaan tenaga kerja (employee empowerment) dilaksanakan terutama bagi front line employees (seperti front desk clerks) untuk memberikan kepuasan maksimum kepada pelanggan.
Berkaitan dengan kiprah manajer mengantisipasi perubahan struktur organisasi bisnis, Prof. Rosebeth Moss Kanter mengatakan:

Position, title and authority are no longer adequate tools for managers to rely on to get their jobs done. Instead, success depends increasingly on tapping into sources of good idea, on figuring out whose collaboration is needed to act on those ideas, and on working with both to produce results.” 
Manajemen sekarang telah banyak berubah dari keadaan 20-30 tahun lampau, di mana human capital menggantikan mesin-mesin sebagai basis keberhasilan kebanyakan perusahaan. Drucker (1998), pakar manajemen terkenal bahkan mengemukakan bahwa tantangan bagi para manajer sekarang adalah tenaga kerja kini cenderung tak dapat diatur seperti tenaga kerja generasi yang lalu. Titik berat pekerjaan kini bergerak sangat cepat dari tenaga manual dan clerical ke knowledge-worker yang menolak menerima perintah (“komando”) ala militer, cara yang diadopsi oleh dunia bisnis 100 tahun yang lalu.
Kecenderungan yang kini berlangsung adalah, angkatan kerja dituntut memiliki pengetahuan baru (knowledge-intensive, high tech.- knowledgeable) , high tech.- knowledgeable) yang sesuai dinamika perubahan yang tengah berlangsung. Tenaga kerja di sektor jasa di negara maju (kini sekitar 70 persen) dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan tenaga paruh waktu (part-timer) juga semakin meningkat. Pola yang berubah ini menuntut “pengetahuan” baru dan “cara penanganan” (manajemen) yang baru. Human capital yang mengacu kepada pengetahuan, pendidikan, latihan, keahlian, ekspertis tenaga kerja perusahaan kini menjadi sangat penting, dibandingkan dengan waktu-waktu lampau.

Dalam ketegori workforce diversity, sedang berlangsung peningkatan umur manusia yang berdampak kepada meningkatnya umur lanjut memasuki angkatan kerja. Di AS dalam 20 tahun terakhir (sejak 1979) terjadi peningkatan umur median dari 34.7 tahun ke 37.8 (1995) dan diproyeksikan menjadi 40.5 pada tahun 2005, sedang berlangsung peningkatan umur manusia yang berdampak kepada meningkatnya umur lanjut memasuki angkatan kerja. Di AS dalam 20 tahun terakhir (sejak 1979) terjadi peningkatan umur median dari 34.7 tahun ke 37.8 (1995) dan diproyeksikan menjadi 40.5 pada tahun 2005. Demikian pula tenaga kerja wanita termasuk wanita berkeluarga dan dual career secara global cenderung meningkat.



BAB II

ARTIKEL : "GLOBALISASI MANAJEMAN SUMBER DAYA MANUSIA"


Praktik Manajemen Sumberdaya Manusia dalam Konteks Globalisasi: Sebuah Tinjauan Rerangka Konseptual
ABSTRAKSI
Globalisasi adalah suatu fenomena yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu atau organisasi. Globalisasi menyebabkan batas-batas antar negara dan bangsa di dunia menjadi kabur. Setiap orang dapat menjadi bagian dari negara dan bangsa lain di dunia dengan cepat. Organisasi sebagai bagian dari komunitas global tidak dapat menghindar dari dampak globalisasi. Globalisasi menyebabkan perubahan paradigma riset dan praktik MSDM. Perubahan tersebut meliputi: perubahan agenda riset MSDM dalam konteks global, manajemen keberagaman, dinamika konteks perubahan global dan hubungan tenaga kerja dalam konteks globalisasi. Artikel ini bertujuan menjelaskan perkembangan konsep, riset dan praktik MSDM dalam konteks global yang meliputi: agenda utama riset MSDM dalam konteks global, rerangka konseptual manajemen keberagaman dalam perspektif global, rerangka konseptual pengembangan riset MSDM antar negara dalam konteks globalisasi dan dampak globalisasi terhadap hubungan tenaga kerja.
Kata kunci: manajemen keberagaman, model kontekstual, strategic MSDM, riset MSDM dan hubungan tenaga kerja.

SDM Indonesia dalam Persaingan Global
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan
SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kitaabaikan. Dalam kaitan tersebut setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:

Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional padakrisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
 
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatankerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Fenomena meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi ikut bertanggungjawab. Fenomena enganguran sarjana merupakan kritik bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
 
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam menghadapi persaingan ekonomi global.
Kenyataan ini belum menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki kesalahan pada masa lalu.
 
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan — tidak lebih dari 12% — pada peme-rintahan di era reformasi. Ini menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah saatnya pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM yang berkualitas. Sekarang bukan saatnya lagi Indonesia membangun perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa Indonesia secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan SDM yang tinggi sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional. Orang tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar kerja.Hambatan kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum sekolah adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Perwujudan nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk
berikut: Produksi, di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya produksi menjadi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. 

Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan investasi (baik dalam
bentuk portofolio ataupun langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara. Tenaga kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional dan\atau buruh diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan semakin mudah dan bebas. Jaringan informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi, antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan jaringan komunikasi yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai contoh KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia –baik
yang berdomisili di kota maupun di desa– menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi menjadi semakin cepat karena “less papers/documents” dalam perdagangan, tetapi dapat mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana dapat dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah satu kekuatan yang memberikan pengaruh terhadap bangsa, masyarakat, kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di Indonesia. Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan
strategi usaha serta melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost efficiency dan competitive advantages. Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan.
 
Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Dengan kata lain, dalam pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian
berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan kerja dari bisnis corporate.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan. Pendidikan merupakan kegiatan investasi di mana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan IPTEK maupun sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi,
penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan yang demikian kurang kondusif bagi pengembangan SDM, sehingga pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan tidak diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan perbankan. Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar yang masih terdistorsi. Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada struktur pasar yang sudah ada dan belum sanggup menciptakan pasar sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk itu. Di sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang
diciptakan pemerintah. Sementara pada pascareformasi belum ada proses egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang dapat memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah relatif tercipta reformasi politik dan belum terjadi reformasi ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural seperti telah diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk mempertahankan kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis telah menciptakan oligarki
politik dan ekonomi. Oligarki ini justru bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap kegagalan pembangunan.
 
Dengan demikian, pada era reformasi dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan terciptanya konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa lalu. Sementara di sisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang adalah bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa?
Bukankah harapannya dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO masalah kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan.
Dengan begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap pelbagai kondisionalitas yang tercipta akibat globalisasi, maka yang akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah. Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya masalah-masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi, tetapi akan semakin menciptakan ketergantungan kepada negara maju karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and match mendapat tempat sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link and match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan dunia pendidikan belum ditunjang oleh kualitas kurikulum sekolah yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih penting dalam hal ini adalah strategi pembangunan dan industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang dimiliki,
yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses pengulangan kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang luar negeri, teknologi, dan manajemen asing. Sebab SDM yang diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses ketergantungan tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA, memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni sebagai negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun tidak mampu mengembalikan manfaat sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak membangkitkan local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab meskipun andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid terhadap semua level IPTEK, namun apabila kebijakan ekonomi yang diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources base), maka
ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin dalam. Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai keahlian yang bisa mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa. Supaya visi tersebut pun terjadi di berbagai daerah, maka harus ada koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan
kepada pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang mampu memperjuangkan kebutuhan dan penguatan masyarakat lokal. Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan sistem kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan nasional.